Minggu, 04 November 2018

cerpen Pelangi Kiblat

Pelangi Kiblat
Oleh: Muhimatul Khoiriyah
Sunan Ampel, itu nama pondokku. Pondok kecil yang tegak kokoh di atas bumi Ngronggo, Kota Kediri. Pondok yang aneh menurutku karena tak sesuai dengan apa yang kubayangkan dan pikirkan. Tak sesuai dengan omongan orang-orang mengenai kehidupan podok. Pondok ini, Sunan Ampel, lengkap dengan 1001 keanehan. Eh, maksudku keistimewaan yang aneh, tak pernah kudengar dari dongeng-dongeng tetangga.
 Dulu, aku masuk pondok ini bertepatan dengan hari ulang tahunku, 13 Juli 2018. Jadi, kalau dihitung sekarang, aku sudah mondok di sini selama tiga setengah bulan lebih. Awal masuk pondok, pikiranku hanya tertitik pada satu kata “takzir” alias denda. Maklumlah, baru pertama akan menginjak tanah pondok, jadi dapat infonya dari orang-orang hanya tentang itu.  Katanya, “pondok itu dunia takzir. Hati-hati saja, kalau salah sedikit disuruh bayar takzir, nggak sengaja salah dipaksa bayar takzir. Seakan-akan dunia hanya ada takzir.” Itu kata tetanggaku yang sudah berpengalaman mondok.
Orang tuaku ingin sekali aku mondok. Bahkan sudah direncanakan sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Bukan apa-apa. Maksudnya adalah agar aku makin banyak dapat ilmu agamanya. Dapat ilmu dari madrasah aliyah dan dari pondok. Double lezatos, hehe. Sebenarnya aku nggak mau dengan keputusan ini, tapi hatiku yang nggak tega kalau nggak ikutin keinginan ayah ibuk yang sudah lama direncanakan. Tak mungkin aku bisa menolak, aku tak tega. So, aku iyakan aja. Toh, mungkin di pondok aku bisa sedikit lebih bebas daripada di rumah yang penuh pengawasan orang tuaku juga kakak adikku. Aku hanya bisa pasrah dan menghibur diri, setelah kukatakan “ya” sebagai persetujuan kalau aku mau mondok agar aku tak menyesal mengatakan sepatah kata berdua huruf itu.
Itu dulu, pikiranku yang sudah basi tentang pondok. Sekarang, tak cocok aku mengatakan itu, tak sehimpun, tak sesuai realnya. Aku masih hidup di sini selama empat bulan kurang, tetapi aku sudah bisa bilang “waw” ke pondok ini, Sunan Ampel. Pondokku aneh, seperti yang aku katakan tadi. Maksudku spesial dengan keistimewaannya, mungkin, kalau seratus halaman untuk menceritakan keunikan pondokku ini, nggak akan cukup. Jadi, aku certakan sedikit saja, yang menurutku teristimewa dari yang istimewa.
Dulu, waktu aku akan masuk dunia pondok, aku nggak mungkin salah tangkap kalau kata “pondok” dekat dengan kata “takzir”. Tetapi, tidak untuk pondokku ini. Yup, jadi di sini enggak ada takzir sama sekali. “Lah, terus gimana?” itu pasti jadi pertanyaannya. Jawabannya simpel, ya nggak gimana-gimana.
Pernah kala itu atau lebih tepatnya baru seminggu jadi santri, aku sudah telat ikut jamaah salat subuh. Waktu itu aku belum tahu kalau di sini nggak ada istilah denda. Hrr... waktu itu sudah tidak bisa dibayangkan lagi gimana rasanya. Udah cepat-cepat, takut kena marah, takut kena denda dan sebagainya. Intinya semua rasa pahit itu bereaksi jadi satu. Membentuk rasa takut yang menerkam jiwa. Tapi, mau nggak mau, aku harus tetap ikut salat subuh di musala pondok. Kupaksa satu per satu kakiku untuk saling melangakah mendahului. Aku berjalan ke musala pondok dengan hati yang tak jelas rasanya, penuh ketakutan. Tapi, sungguh ajaib bin waw. Apanya? setelah aku selesai salat, mbak Wachida yang duduk di sebelahku bilang, “besok jangan diulangi lagi, ya, terlambatnya!” hanya kalimat itu yang keluar lembut dari bibir yang ramah senyum. Itu adalah awal mula aku bisa menarik benang kesimpulan, kalau di sini, di Pondok Sunan Ampel tidak ada yang namanya takzir.

Memang, di pondokku ini tidak ada undang-undang yang mengatur jalannya takzir. Tetapi, jangan dikira kalau di sini santrinya nggak ikut aturan pondok. Malahan semua santri merasa sungkan, takut sendiri kalau nggak mematuhi aturan pondok. Emm, sebenarnya di sini peraturannya hanya satu, dilarang pacaran. Itu saja. Tetapi, yang lain adalah peraturan yang berasal dari kebiasaan. Misalnya mencuci baju. Kalau sudah mau magrib masih mencuci baju, berarti tidak mematuhi peraturan yang sudah dibuat. Tapi, santri yang tahu hanya mengingatkan dengan halus, “Lho, kok nyuci? Nanti kalau airnya habis, kasihan mbak-mbak yang mau salat, jadi nggak bisa wudu. Hati-hati, bisa dosa loh.” Tak ada ekspresi marah yang tampak sedikit pun. Esok harinya, sudah tak ada yang berani mencuci baju menjelang magrib. Takut dosa kalau sampai airnya habis sehingga kalau ada yang mau wudu jadi nggak bisa.
Aku pun sampai sekarang juga masih bertanya-tanya, kenapa santri di sini takut kalau tidak memenuhi aturan pondok. Padahal kalau dipikir-pikir jika melanggar aturan pondok tinggal melanggar saja. Enggak usah dipaket sama takut kena denda. Paling kalau salah cuma diingatkan. Kan, nggak ada istilah denda di sini. Iya, kan? Tapi, semua santri di sini merasa sungkan dan takut jika melanggar aturan. Kenapa ya? Apa mungkin karena kami saling mengingatkan, tidak saling menyalahkan. Atau karena di sini nggak berani pakai acara diadakan takzir? Tapi sepertinya bukan karena nggak berani mengadakan takzir. Hmm... entahlah, aku bukan tipe orang yang suka cari detail jawaban yang sekiranya tak perlu dicari. Aku hanya bisa bilang alhamdulillah, aku jadi terlatih untuk patuh aturan dengan ikhlas, tidak terpaksa karena denda.
Tadi itu masalah takzir. Tidak adanya takzir termasuk golongan keanehan yang bisa dibilang istimewa menurutku. Sekarang masalah kegiatan habis isya. Biasanya, setelah salat isya berjamaah, kami ngaji kitab. Tapi, tidak untuk hari Rabu. “Terus ngajinya apa, dong?” ehmm, nggak ngaji kitab, tetapi bedah buku. Yap, pastinya seru plus dapat banyak ilmu. Jadi, bedah buku adalah membedah atau mengoreksi sebuah buku lalu mengenalkan buku itu pada audiens. Tapi, bukan buku cerita ataupun novel, ya. Ini khusus buku pengetahuan. Dan, membedah bukunya sesuai dengan prodi masing-masing santri. Misalnya prodinya adalah psikolog maka yang diambil adalah “Psikologi Kognitif” karya Robert Solso.
Yang presentasi atau yang melakukan bedah buku adalah mbak-mbak kuliah. Sedangkan, aku dan teman-temanku yang aliyah jadi audiens yang baik. Anak MA hanya ada lima orang di sini. Yang kelas sebelas ada dua orang dan yang kelas sepuluh ada tiga orang. Aku kelas sepuluh. Maklumlah kalau kami nggak disuruh bedah buku. Kalo disuruh, masa iya mau bedah buku modul kimia kelas sepuluh kuriulum 2013? Atau buku matematika wajib kelas sebelas kurikulum terbaru? Iya kali. Hehe, kalau ia kayak gitu, pasti para penonton dan pendengarnya ngantuk berat sampai tidur khas santri, duduk dengan mata terpejam rapat dan pikiran yang melayang senang dengan mimpi. Tak terkecuali anak aliyahnya. Aku pun sudah mahir tidur macam itu.
Tak melulu santri yang sudah kuliah yang ngisi acara, kadang juga abuya, pengasuh pondok kami. Abuya mengisinya beda, beliau menerangkan tentang cara bikin makalah yang baik. Yaaa... cocok banget buat kita-kita. Aku bisa tau gimana makalahnya anak kuliah, kalau ada tugas membuat makalah aku tahu ilmunya, dan sedikit banyak aku bisa merancang masa depanku. Mengira-ngira bagaimana caranya membuat makalah yang baik dan tepat kalau ada tugas kuliah nanti. Terus yang mbak-mbak kuliah juga langsung menerapkan cara jitu itu. Ah, pokoknya manfaatnya buanyak bingits. Sayang banget kalau ada halangan hadir di acara ini. Apalagi yang ngisi abuya. Hmm... bisa ketinggalan kereta. Aku dapat ilmunya presentasi, membuat power point, jadi audiens yang baik, dan yang paling terasa adalah aku dapat ilmu membuat makalah.
“Dulu, Rek, mahasiswa abuya banyak yang belum bisa membaut makalah. Sebenarnya mereka bisa, tapi malas jadi makalahnya asal dibuat. Abuya prihatin sekali. Mereka asal buat, asal mengumpulkan lalu dapat nilai, itu jadi prinsipnya. Artinya, mereka kuliah mengejar nilai, tidak mengejar ilmu. Tapi alhamdulillah, sekarang mahasiswa seperti itu bisa dihitung dengan jari kita dan teman sebelah kita. Santri Sunan Ampel jangan masuk nominasi yang bikin makalah kurang bagus, harus masuk yang bagus. Caranya, ya melalui bedah buku ini. Lama-lama kalau kalian istiqamah hadir, insyaAllah bisa membuat makalah yang benar. Kalian juga bisa presentasi yng baik juga,” itu dawuh abuya. Mungkin itu yang membuat diadakannya kegiatan bedah buku selain untuk me-referesing otak yang panas penuh tugas dari sekolah ataupun kampus.
Serukan cerita bedah bukunya? pasti lah. “Terus, hanya hari Rabu saja yang seru?” enggak lah.  Ada lagi, kok, yang spesial, yaitu hari Minggu. Di Sunan Ampel tidak ada jadwal untuk tidur siang di hari Minggu. Setelah salat subuh, kami tidak ngaji kitab seperti biasanya, tapi dilanjutkan dengan kegiatan rumah tangga. Kami bergulat dengan dapur, dengan lantai, dengan atap, dengan sampah , dan dengan yang lainnya. Maksudku, kami dipenuhi kegiatan pondok: masak, nyapu plus ngepel lantai, membersihkan atap dari sawang, membuang sampah, dan sejenisnya.
Kalau aku, sebagai anak aliyah bertugas masak. Semua anak aliyah memang bertugas piket masak di hari Minggu, tetapi tetap dalam komando mbak-mbak senior. Sedangkan mbak-mbak kuliah bertugas roan atau bersih-bersih. Roan-nya meliputi asrama SD, kamar ndalem, ruang tamu ndalem, kulkas, dan kamar mandi. Emhh... kalau kamar mandi yang di- roan-i, baunya sampai ke mana-mana. Dari lantai bawah sampai lantai atas kayak bau kentut. Angin terlalu hebat menghembus pelan, tapi menyisakan kesan.
“Mbak-mabak, kok baunya gini amat, sih?” salah satu santri berpendapat.
“Iya nih mbak-mbak,” santri lain berpendapat.
“Lho, kamar mandi kan di-roan-i, ya mesti baunya gini lah”
“hh...bikes, deh.”
Ya, begitu lah. Meskipun tiap dua minggu sekali dibersihkan, kamar mandi tak pernah baik hati untuk saling berkolaborasi agar nggak mengeluarkan bau khasnya. Sampai kadang-kadang sedapnya masakan yang ku buat bersama teman-temanku kalah dengan bau kamar mandi. Itu adalah saat-saat yang menyebalkan. Bagaimana bisa masak kalau baunya diambil alih sama bau kentut itu. Pastinya kami keluar dari dapur, mencari udara segar di halaman pondok.
Tetapi, tidak setiap minggu berkegiatan bersih-bersih. Programnya minggu pertama roan lalu minggu kedua jalan-jalan. Jadi, kalau jadwalnya jalan-jalan, setelah wirid subuh dilanjutkan senam sehat. Setelah itu, baru deh, kami jalan-jalan. Tujuannya adalah ke taman. Jauhnya sih, lumayan dari pondok kalau jalan kaki. Tapi ya tetap dilakukan. Kalau naik motor, namanya bukan jalan-jalan dong, tapi motor-motor. Hehe, masa iya gitu. Sejauh apapun jarak, selelah apa pun raga kalau dilakukan bersama-sama, pasti nggak akan terasa itu semua. Yang jauh, terasa semakin dekat, yang lelah makin terasa semangat. Itu efeknya.
Senang banget bisa jalan-jalan. Tapi, aku hanya pernah ikut sekali, sewaktu aku baru masuk di pondok ini. Karena, tiap datangnya hari Minggu, datang pula tugasku untuk piket masak. Kadang kala juga ingin banget jalan-jalan ke taman, tapi aku hanya bisa pasrah mengemban amanah tugas masak. Aku hanya bisa menerima kenyataan kalau aku nggak bisa jalan-jalan ke taman, tetapi aku bisa jalan-jalan ke pasar, membeli bahan-bahan untuk masak. Itu jauh lebih baik. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, sekali jalan-jalan ke pasar bisa sambil beli-beli jajan, hehe.
Ada lagi, nih yang paling mantap. Kegiatan ini nggak dilakukan seminggu sekali, tetapi satu bulan sekali. Apakah itu.... benar, jawabannya adalah pengajian Ahad Wage. “Pengajian aja kok mantap?!” iyalah mantap banget, kan pengajiannya beda daripada biasanya. Jadi, pengajiannya itu jamaahnya bukan dari santri pondok saja, tetapi juga masyarakat sekitar pondok. Bareng masyarakat salih-salihah.
Kami jadi bisa bersosial dengan masyarakat. Yah, pokoknya enaklah. Kami menggelar acara itu pun tidak di pondk, tapi di musala umum, tak jauh dari pondok. Pengajiannya adalah ngaji kitab Tadzhib. Aku jadi tau banyak hal. Eh, kalau bilang banyak rasanya kurang puas. So, aku mau bilang “buanyak bingits!” itu rasanya lebih baik. Yang mengisi acaranya adalah abuya. Rasanya rugi banget nggak ikut acara pengajian Ahad Wage ini. Ternyata banyak sekali materi fikih yang selau terjadi pada kehidupan sehari-hari, tetapi aku tak tahu bagaimana harus bertindak. Nah, karena ada acara tersebut, aku jadi tahu, alhamdulillah.
Pertama kali aku ikut acara pengajian Ahad Wage, aku langsung jatuh cinta. Rasanya hari-hari pengen kujadikan Ahad Wage. Tapi, iya kali kayak gitu. Imposible. Aku tidak jadi senang, tetapi bosan. Setiap hari jadi tanggal merah, sekolah selalu libur, setiap hari nggak ada kegiatan lain kecuali pengajian Ahad Wage, dan yanga paling dikhawatirkan adalah nggak dapat uang jajan karena hari libur terus.
Pengajian Ahad Wage sangat pas untuk semua kalangan, dari yang muda sampai yang berumur. Biasanya, acaranya dimulai pukul setengah sembilan pagi dan selesai pukul setengah dua belas siang, tepat waktu duhur. Habis ngaji adalah saat yang paling menyenangkan karena makan-makan, hehe. Makannya tidak nge-jomblo, tapi berkelompok. Porsi satu lengser untuk lima orang. Lauknya sederhana, tapi karena makannya bareng-bareng jadi terasa bintang lima, beda tipis dengan makanan hotel, hiks. Habis makan, minumnya es blewah, camilannya tahu isi dan molen pisang. Hmmm... yummy.
Tak hanya mengaji dengan masyarakat, tetapi pengajian Ahad Wage juga punya misi besar, yaitu peduli masyarakat yang kurang mampu. Jadi, orang-orang duafa dan anak-anak yatim disantuni. Hhmm...kalau acara itu, bikin mewek. Semua menangis penuh haru, tak terkecuali aku. Apalagi waktu menyantuni diputarkan lagu-lagu super mellow, jadi malah nggak berhenti-henti air mataku keluar tanpa izin.
Tadi itu hanya sebagian keanehan yang istimewa di pondokku. Sebenarnya masih ada banyak lagi yang unik, tetapi aku nggak bisa menceritakannya. Terlalu banyak dan terlalu panjang, bisa sampai penghujung malam aku cerita. Aku senang dengan kegiatan di pondokku, Sunan Ampel. Hari-hari jadi menyenangkan. Kegiatannya tak pernah membosankan. Tak hanya ngaji kitab kuning melulu, tapi juga ngaji bareng masyarakat. Tak hanya bisa ngantuk berat akibat memaknai kitab, tapi juga bisa me-refresh otak. Kami punya banyak kegiatan seperti pelangi yang punya banyak warna. Kami selalu konsisten taat kepada Allah seperti pelangi yang merunduk kepada kiblat. Sungguh, benar-benar indah pelangi kiblat itu.






10 komentar:

  1. Waahh... Bagus adik. Lanjutkan yaa...
    Bismillah semangat...

    BalasHapus
  2. alhamdulillah... ceritanya menginspirasi banget untuk menjadikan pondok modern yang baik... Terima kasih...

    BalasHapus
  3. Masih banyak kata asing yang seharusnya dicetak atau ditulis miring dan masih banyak kata yang salah tulis aytau salah cetak, untuk penggunaan kata baku sudah bagus tapi harus ditingkatkan lagi, tapi namanya juga manusia tempatnya lupa dan salah aku sendiri juga begitu. Semoga cerpen-cerpennya nanti bisa dikumpulkan jadi kumpulan cerpen dan bisa diterbitkan jadi sebuah buku, semangat terus untuk menulis semoga aku juga bisa trermotivasi. SEMANGAT!!!!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  4. 2017 ford fusion hybrid titanium titanium by ATA - iTanium
    2017 is revlon hair dryer brush titanium a titanium coating fusion fusion titanium banger of the titanium element to create a modern titanium nose hoop fusion engine that takes advantage of a powerful fusion engine to enhance the mens titanium wedding rings

    BalasHapus