Pelangi
Kiblat
Oleh:
Muhimatul Khoiriyah
Sunan
Ampel, itu nama pondokku. Pondok kecil yang tegak kokoh di atas bumi Ngronggo, Kota
Kediri. Pondok yang aneh menurutku karena tak sesuai dengan apa yang kubayangkan
dan pikirkan. Tak sesuai dengan omongan orang-orang mengenai kehidupan podok.
Pondok ini, Sunan Ampel, lengkap dengan 1001 keanehan. Eh, maksudku
keistimewaan yang aneh, tak pernah kudengar dari dongeng-dongeng tetangga.
Dulu, aku masuk pondok ini bertepatan dengan hari
ulang tahunku, 13 Juli 2018. Jadi, kalau dihitung sekarang, aku sudah mondok
di sini selama tiga setengah bulan lebih. Awal masuk pondok, pikiranku hanya
tertitik pada satu kata “takzir” alias denda. Maklumlah, baru pertama akan
menginjak tanah pondok, jadi dapat infonya dari orang-orang hanya tentang itu. Katanya, “pondok itu dunia takzir. Hati-hati
saja, kalau salah sedikit disuruh bayar takzir, nggak sengaja salah dipaksa
bayar takzir. Seakan-akan dunia hanya ada takzir.” Itu kata tetanggaku
yang sudah berpengalaman mondok.
Orang
tuaku ingin sekali aku mondok. Bahkan sudah direncanakan sejak aku duduk
di bangku sekolah dasar. Bukan apa-apa. Maksudnya adalah agar aku makin banyak
dapat ilmu agamanya. Dapat ilmu dari madrasah aliyah dan dari pondok. Double
lezatos, hehe. Sebenarnya aku nggak mau dengan keputusan ini, tapi
hatiku yang nggak tega kalau nggak ikutin keinginan ayah ibuk yang sudah lama
direncanakan. Tak mungkin aku bisa menolak, aku tak tega. So, aku iyakan
aja. Toh, mungkin di pondok aku bisa sedikit lebih bebas daripada di rumah yang
penuh pengawasan orang tuaku juga kakak adikku. Aku hanya bisa pasrah dan menghibur
diri, setelah kukatakan “ya” sebagai persetujuan kalau aku mau mondok
agar aku tak menyesal mengatakan sepatah kata berdua huruf itu.
Itu
dulu, pikiranku yang sudah basi tentang pondok. Sekarang, tak cocok aku
mengatakan itu, tak sehimpun, tak sesuai realnya. Aku masih hidup di sini
selama empat bulan kurang, tetapi aku sudah bisa bilang “waw” ke pondok ini,
Sunan Ampel. Pondokku aneh, seperti yang aku katakan tadi. Maksudku spesial
dengan keistimewaannya, mungkin, kalau seratus halaman untuk menceritakan
keunikan pondokku ini, nggak akan cukup. Jadi, aku certakan sedikit saja, yang
menurutku teristimewa dari yang istimewa.
Dulu,
waktu aku akan masuk dunia pondok, aku nggak mungkin salah tangkap kalau kata “pondok”
dekat dengan kata “takzir”. Tetapi, tidak untuk pondokku ini. Yup, jadi di sini
enggak ada takzir sama sekali. “Lah, terus gimana?” itu pasti jadi
pertanyaannya. Jawabannya simpel, ya nggak gimana-gimana.
Pernah
kala itu atau lebih tepatnya baru seminggu jadi santri, aku sudah telat ikut
jamaah salat subuh. Waktu itu aku belum tahu kalau di sini nggak ada istilah
denda. Hrr... waktu itu sudah tidak bisa dibayangkan lagi gimana rasanya.
Udah cepat-cepat, takut kena marah, takut kena denda dan sebagainya. Intinya
semua rasa pahit itu bereaksi jadi satu. Membentuk rasa takut yang menerkam
jiwa. Tapi, mau nggak mau, aku harus tetap ikut salat subuh di musala pondok.
Kupaksa satu per satu kakiku untuk saling melangakah mendahului. Aku berjalan
ke musala pondok dengan hati yang tak jelas rasanya, penuh ketakutan. Tapi,
sungguh ajaib bin waw. Apanya? setelah aku selesai salat, mbak Wachida
yang duduk di sebelahku bilang, “besok jangan diulangi lagi, ya, terlambatnya!”
hanya kalimat itu yang keluar lembut dari bibir yang ramah senyum. Itu adalah
awal mula aku bisa menarik benang kesimpulan, kalau di sini, di Pondok Sunan
Ampel tidak ada yang namanya takzir.
Memang,
di pondokku ini tidak ada undang-undang yang mengatur jalannya takzir. Tetapi, jangan
dikira kalau di sini santrinya nggak ikut aturan pondok. Malahan semua santri
merasa sungkan, takut sendiri kalau nggak mematuhi aturan pondok. Emm, sebenarnya
di sini peraturannya hanya satu, dilarang pacaran. Itu saja. Tetapi, yang lain
adalah peraturan yang berasal dari kebiasaan. Misalnya mencuci baju. Kalau
sudah mau magrib masih mencuci baju, berarti tidak mematuhi peraturan yang
sudah dibuat. Tapi, santri yang tahu hanya mengingatkan dengan halus, “Lho, kok
nyuci? Nanti kalau airnya habis, kasihan mbak-mbak yang mau salat, jadi nggak
bisa wudu. Hati-hati, bisa dosa loh.” Tak ada ekspresi marah yang tampak sedikit
pun. Esok harinya, sudah tak ada yang berani mencuci baju menjelang magrib.
Takut dosa kalau sampai airnya habis sehingga kalau ada yang mau wudu jadi
nggak bisa.
Aku
pun sampai sekarang juga masih bertanya-tanya, kenapa santri di sini takut
kalau tidak memenuhi aturan pondok. Padahal kalau dipikir-pikir jika melanggar
aturan pondok tinggal melanggar saja. Enggak usah dipaket sama takut kena denda.
Paling kalau salah cuma diingatkan. Kan, nggak ada istilah denda di sini. Iya,
kan? Tapi, semua santri di sini merasa sungkan dan takut jika melanggar aturan.
Kenapa ya? Apa mungkin karena kami saling mengingatkan, tidak saling
menyalahkan. Atau karena di sini nggak berani pakai acara diadakan takzir? Tapi
sepertinya bukan karena nggak berani mengadakan takzir. Hmm... entahlah, aku
bukan tipe orang yang suka cari detail jawaban yang sekiranya tak perlu dicari.
Aku hanya bisa bilang alhamdulillah, aku jadi terlatih untuk patuh aturan
dengan ikhlas, tidak terpaksa karena denda.
Tadi
itu masalah takzir. Tidak adanya takzir termasuk golongan keanehan yang bisa
dibilang istimewa menurutku. Sekarang masalah kegiatan habis isya. Biasanya,
setelah salat isya berjamaah, kami ngaji kitab. Tapi, tidak untuk hari Rabu.
“Terus ngajinya apa, dong?” ehmm, nggak ngaji kitab, tetapi bedah buku.
Yap, pastinya seru plus dapat banyak ilmu. Jadi, bedah buku adalah membedah
atau mengoreksi sebuah buku lalu mengenalkan buku itu pada audiens. Tapi, bukan
buku cerita ataupun novel, ya. Ini khusus buku pengetahuan. Dan, membedah
bukunya sesuai dengan prodi masing-masing santri. Misalnya prodinya adalah psikolog
maka yang diambil adalah “Psikologi Kognitif” karya Robert Solso.
Yang
presentasi atau yang melakukan bedah buku adalah mbak-mbak kuliah. Sedangkan,
aku dan teman-temanku yang aliyah jadi audiens yang baik. Anak MA hanya ada
lima orang di sini. Yang kelas sebelas ada dua orang dan yang kelas sepuluh ada
tiga orang. Aku kelas sepuluh. Maklumlah kalau kami nggak disuruh bedah buku.
Kalo disuruh, masa iya mau bedah buku modul kimia kelas sepuluh kuriulum 2013?
Atau buku matematika wajib kelas sebelas kurikulum terbaru? Iya kali. Hehe,
kalau ia kayak gitu, pasti para penonton dan pendengarnya ngantuk berat sampai
tidur khas santri, duduk dengan mata terpejam rapat dan pikiran yang melayang
senang dengan mimpi. Tak terkecuali anak aliyahnya. Aku pun sudah mahir tidur
macam itu.
Tak
melulu santri yang sudah kuliah yang ngisi acara, kadang juga abuya, pengasuh
pondok kami. Abuya mengisinya beda, beliau menerangkan tentang cara bikin
makalah yang baik. Yaaa... cocok banget buat kita-kita. Aku bisa tau gimana
makalahnya anak kuliah, kalau ada tugas membuat makalah aku tahu ilmunya, dan
sedikit banyak aku bisa merancang masa depanku. Mengira-ngira bagaimana caranya
membuat makalah yang baik dan tepat kalau ada tugas kuliah nanti. Terus yang
mbak-mbak kuliah juga langsung menerapkan cara jitu itu. Ah, pokoknya manfaatnya
buanyak bingits. Sayang banget kalau ada halangan hadir di acara ini.
Apalagi yang ngisi abuya. Hmm... bisa ketinggalan kereta. Aku dapat ilmunya
presentasi, membuat power point, jadi audiens yang baik, dan yang paling
terasa adalah aku dapat ilmu membuat makalah.
“Dulu, Rek, mahasiswa
abuya banyak yang belum bisa membaut makalah. Sebenarnya mereka bisa, tapi
malas jadi makalahnya asal dibuat. Abuya prihatin sekali. Mereka asal buat,
asal mengumpulkan lalu dapat nilai, itu jadi prinsipnya. Artinya, mereka kuliah
mengejar nilai, tidak mengejar ilmu. Tapi alhamdulillah, sekarang mahasiswa
seperti itu bisa dihitung dengan jari kita dan teman sebelah kita. Santri Sunan
Ampel jangan masuk nominasi yang bikin makalah kurang bagus, harus masuk yang
bagus. Caranya, ya melalui bedah buku ini. Lama-lama kalau kalian istiqamah hadir,
insyaAllah bisa membuat makalah yang benar. Kalian juga bisa presentasi yng
baik juga,” itu dawuh abuya. Mungkin itu yang membuat diadakannya
kegiatan bedah buku selain untuk me-referesing otak yang panas penuh
tugas dari sekolah ataupun kampus.
Serukan
cerita bedah bukunya? pasti lah. “Terus, hanya hari Rabu saja yang seru?”
enggak lah. Ada lagi, kok, yang spesial,
yaitu hari Minggu. Di Sunan Ampel tidak ada jadwal untuk tidur siang di hari
Minggu. Setelah salat subuh, kami tidak ngaji kitab seperti biasanya, tapi
dilanjutkan dengan kegiatan rumah tangga. Kami bergulat dengan dapur, dengan
lantai, dengan atap, dengan sampah , dan dengan yang lainnya. Maksudku, kami
dipenuhi kegiatan pondok: masak, nyapu plus ngepel lantai, membersihkan atap
dari sawang, membuang sampah, dan sejenisnya.
Kalau
aku, sebagai anak aliyah bertugas masak. Semua anak aliyah memang bertugas
piket masak di hari Minggu, tetapi tetap dalam komando mbak-mbak senior.
Sedangkan mbak-mbak kuliah bertugas roan atau bersih-bersih. Roan-nya
meliputi asrama SD, kamar ndalem, ruang tamu ndalem, kulkas, dan kamar mandi. Emhh...
kalau kamar mandi yang di- roan-i, baunya sampai ke mana-mana. Dari
lantai bawah sampai lantai atas kayak bau kentut. Angin terlalu hebat
menghembus pelan, tapi menyisakan kesan.
“Mbak-mabak, kok baunya
gini amat, sih?” salah satu santri berpendapat.
“Iya nih mbak-mbak,”
santri lain berpendapat.
“Lho, kamar mandi kan
di-roan-i, ya mesti baunya gini lah”
“hh...bikes, deh.”
Ya, begitu lah. Meskipun tiap dua minggu sekali dibersihkan, kamar mandi tak pernah baik hati untuk saling berkolaborasi agar nggak mengeluarkan bau khasnya. Sampai kadang-kadang sedapnya masakan yang ku buat bersama teman-temanku kalah dengan bau kamar mandi. Itu adalah saat-saat yang menyebalkan. Bagaimana bisa masak kalau baunya diambil alih sama bau kentut itu. Pastinya kami keluar dari dapur, mencari udara segar di halaman pondok.
Ya, begitu lah. Meskipun tiap dua minggu sekali dibersihkan, kamar mandi tak pernah baik hati untuk saling berkolaborasi agar nggak mengeluarkan bau khasnya. Sampai kadang-kadang sedapnya masakan yang ku buat bersama teman-temanku kalah dengan bau kamar mandi. Itu adalah saat-saat yang menyebalkan. Bagaimana bisa masak kalau baunya diambil alih sama bau kentut itu. Pastinya kami keluar dari dapur, mencari udara segar di halaman pondok.
Tetapi, tidak setiap
minggu berkegiatan bersih-bersih. Programnya minggu pertama roan lalu
minggu kedua jalan-jalan. Jadi, kalau jadwalnya jalan-jalan, setelah wirid
subuh dilanjutkan senam sehat. Setelah itu, baru deh, kami jalan-jalan.
Tujuannya adalah ke taman. Jauhnya sih, lumayan
dari pondok kalau jalan kaki. Tapi ya tetap dilakukan. Kalau naik motor,
namanya bukan jalan-jalan dong, tapi motor-motor. Hehe, masa iya gitu.
Sejauh apapun jarak, selelah apa pun raga kalau dilakukan bersama-sama, pasti nggak
akan terasa itu semua. Yang jauh, terasa semakin dekat, yang lelah makin terasa
semangat. Itu efeknya.
Senang
banget bisa jalan-jalan. Tapi, aku hanya pernah ikut sekali, sewaktu aku baru masuk di pondok ini.
Karena, tiap datangnya hari Minggu, datang pula tugasku untuk piket masak.
Kadang kala juga ingin
banget
jalan-jalan ke taman, tapi aku hanya bisa pasrah mengemban amanah tugas masak. Aku hanya bisa menerima kenyataan
kalau aku nggak bisa
jalan-jalan ke taman, tetapi aku bisa jalan-jalan ke pasar, membeli
bahan-bahan untuk masak.
Itu jauh lebih baik. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, sekali
jalan-jalan ke pasar bisa sambil beli-beli jajan, hehe.
Ada
lagi, nih yang paling mantap. Kegiatan ini nggak dilakukan seminggu sekali,
tetapi satu bulan sekali. Apakah itu.... benar, jawabannya adalah pengajian Ahad
Wage. “Pengajian aja kok mantap?!” iyalah mantap banget, kan pengajiannya beda
daripada biasanya. Jadi, pengajiannya itu jamaahnya bukan dari santri pondok
saja, tetapi juga masyarakat sekitar pondok. Bareng masyarakat salih-salihah.
Kami
jadi bisa bersosial dengan masyarakat. Yah, pokoknya enaklah. Kami menggelar
acara itu pun tidak di pondk, tapi di musala umum, tak jauh dari pondok. Pengajiannya
adalah ngaji kitab Tadzhib. Aku jadi tau banyak hal. Eh, kalau bilang
banyak rasanya kurang puas. So, aku mau bilang “buanyak bingits!” itu rasanya
lebih baik. Yang mengisi acaranya adalah abuya. Rasanya rugi banget nggak ikut
acara pengajian Ahad Wage ini. Ternyata banyak sekali materi fikih yang selau
terjadi pada kehidupan sehari-hari, tetapi aku tak tahu bagaimana harus
bertindak. Nah, karena ada acara tersebut, aku jadi tahu, alhamdulillah.
Pertama
kali aku ikut acara pengajian Ahad Wage, aku langsung jatuh cinta. Rasanya
hari-hari pengen kujadikan Ahad Wage. Tapi, iya kali kayak gitu. Imposible.
Aku tidak jadi senang, tetapi bosan. Setiap hari jadi tanggal merah, sekolah
selalu libur, setiap hari nggak ada kegiatan lain kecuali pengajian Ahad Wage,
dan yanga paling dikhawatirkan adalah nggak dapat uang jajan karena hari libur
terus.
Pengajian
Ahad Wage sangat pas untuk semua kalangan, dari yang muda sampai yang berumur.
Biasanya, acaranya dimulai pukul setengah sembilan pagi dan selesai pukul
setengah dua belas siang, tepat waktu duhur. Habis ngaji adalah saat yang
paling menyenangkan karena makan-makan, hehe. Makannya tidak nge-jomblo, tapi
berkelompok. Porsi satu lengser untuk lima orang. Lauknya sederhana, tapi
karena makannya bareng-bareng jadi terasa bintang lima, beda tipis dengan
makanan hotel, hiks. Habis makan, minumnya es blewah, camilannya tahu
isi dan molen pisang. Hmmm... yummy.
Tak
hanya mengaji dengan masyarakat, tetapi pengajian Ahad Wage juga punya misi
besar, yaitu peduli masyarakat yang kurang mampu. Jadi, orang-orang duafa dan
anak-anak yatim disantuni. Hhmm...kalau acara itu, bikin mewek. Semua menangis
penuh haru, tak terkecuali aku. Apalagi waktu menyantuni diputarkan lagu-lagu
super mellow, jadi malah nggak berhenti-henti air mataku keluar tanpa
izin.
Tadi
itu hanya sebagian keanehan yang istimewa di pondokku. Sebenarnya masih ada
banyak lagi yang unik, tetapi aku nggak bisa menceritakannya. Terlalu banyak
dan terlalu panjang, bisa sampai penghujung malam aku cerita. Aku senang dengan
kegiatan di pondokku, Sunan Ampel. Hari-hari jadi menyenangkan. Kegiatannya tak
pernah membosankan. Tak hanya ngaji kitab kuning melulu, tapi juga ngaji bareng
masyarakat. Tak hanya bisa ngantuk berat akibat memaknai kitab, tapi juga bisa
me-refresh otak. Kami punya banyak kegiatan seperti pelangi yang punya
banyak warna. Kami selalu konsisten taat kepada Allah seperti pelangi yang
merunduk kepada kiblat. Sungguh, benar-benar indah pelangi kiblat itu.